DEMI
BATU NEGERI SENDIRI
Oleh : Riawani
Palu
sidang telah diketukkan tanda sidang berakhir, putusan telah dijatuhkan
kepadanya. Perasaannya tak kuasa ditahannya, bibir dikatup rapat dan tangan
dikepalnya dengan kuat. Rasa menyesal atas keputusan yang ia buat saat itu,
kini hanya menunggu hari yang telah diputuskan hakim.
“Maaf
Iqram, pihak kedutaan tak bisa membantu banyak” kata seorang staf Kedutaan Besar
Indonesia kepadanya saat sidang telah
selesai.
“Apa
ada yang bisa kami bantu lagi? tanyanya lagi.
Iqram
tak menjawab, ia hanya diam. Tangannya terus dikepalnya, sesekali ia menutup
muka dengan menggunakan tangannya, lelehan air yang mengalir dari sudut-sudut
matanya tak mampu ia sembunyikan dari orang-orang yang melihatnya. Tak ada rasa
malu lagi, sehingga seketika pecah isak tangisnya. Didalam tangisnya, pikiran
telah melayang menelusuri suasana panas gedung pengadilan, mengikut arah angin,
terbang jauh. Membayangkan gedung-gedung Malaysia yang megah, tempat mengais
rezeki sebagian orang-orang Indonesia. Kemudian teringat akan malam-malam
diatas kapal, datang dengan diam-diam ke negeri orang. Ombak laut perbatasan menjadi
saksi perjalanannya meninggalkan kampung halaman.
“Pak,
saya punya sebuah permintaan” tiba-tiba ia bersuara.
“Baiklah,
apa? Saya akan coba mengabulkan permintaan kamu” jawab staf kedutaan tersebut yang
telah lama menunggu dengan sabar.
“Saya
punya permintaan untuk yang terakhir kali sama bapak, tolong bapak lakukan ya”
katanya memohon.
***
Hari-hari
telah berlalu dengan dengan cepatnya, tak terasa sudah hampir sebulan aku
berpisah dengan sahabatku. Aku seperti rindu padanya, padahal sebulan yang lalu
ia datang menemuiku, menceritakan cita-citanya kepadaku.
“Disini
rupanya kau” katanya mengagetkanku.
“Ahk
kau, terkejut aku” kataku sambil menolehkan muka ke arahnya.
“Bisa
juga kau terkejut ya” ejeknya sambil berjalan kearahku.
“Eh…eh…eh…
Pelan-pelan, nanti koleknya1 oleng” aku berusaha menyeimbangkan
keadaan.
“Kau..
seperti ini aja sudah takut” kembali ia mengejekku.
“Bukan
takut, kalau jatuhkan tak lucuuu” kataku dengan becanda.
“Lucuuu”
katanya lagi dengan nada yang lebih panjang.
Kami
tertawa, kemudian terdiam sejenak. Hanyut dengan pikiran masing-masing.
Diam-diam aku meliriknya, melihatnya seperti ada yang ia pikirkan. Pandangannya
jauh ketengah laut, tangannya mempermainkan air dengan lembut. Sementara
ombak-ombak yang datang secara perlahan membuat kolek bergoyang-goyang. Angin
laut menambah kebisuan kami pada pertemuan sore itu.
“Aku
pasti merindukan saat seperti ini, aku pasti merindukan tempat ini” katanyanya
memecah suasana.
“Hemp…
siapa yang tak akan rindu dengan tempat ini? Disinilah kita, tempat kita
bermain, tempat kita makan, belajar, bahkan tempat yang sama saat kita dimarah
encek2 kau atau pun bapak
aku” aku menambahkan.
“Terkadang
ada rasa tak ingin aku pergi, aku ingin tetap disini. Tapi encek memintaku
untuk pergi. Terkadang aku berpikir mengapa kita harus dewasa? Aku ingin kita
tetap menjadi anak-anak? Keluhnya hampir mengeluakan air mata.
“Sudahlah.
Sudah takdir kita dewasa, terima saja. Kau mau jadi terus jadi anak-anak? Aku
tak mau, anak-anak itu kecil, segini, bantot3” aku mulai bercanda
untuk mencairkan suasana.
“Haha…
Kau yang bantot, jelas-jelas aku lebih tinggi dari kau” kembali ia mengejekku.
“Dasar
mulut tak ada insurance, seenaknya saja
bilang aku bantot” aku mulai kesal.
Dia
tertawa “Haha… ngail4 yuk. Air tenang biasanya ada ikan” sambil ia
melompat keluar kolek membuat aku harus memegang tiang pelantar5
kayu agar tidak oleng.
Ia
berlari, menuju rumahku untuk mencari alat untuk mengail. Aku berteriak
memintanya jangan lupa untuk mengambilkan umpannya sekalian. Aku menunggunya,
sambil mempersiapkan kolek, mengambil ciyau6 yang diletakkan bapakku
dibawah pelantar.
“Oke.
Berangkat kita. Ini kau punya” katanya dengan napas tersengal-sengal karna
berlari lalu memberikan alat mengail kepadaku.
“Ehh,
lihat umpannya masih bagus!” katanya lagi.
“Ya
iyalah, itu udang bapak aku nyondong7 tadi” kataku sambil mulai
menjalankan kolek.
“Ha?
Jangan-jangan udang ini untuk bapak kau jual? Katanya dengan ragu-ragu.
“Tak.
Itu udang sengaja disimpan untuk ngail” aku meyakinkan.
“Oh.
Okelah. Besok kita bekarang8 gonggong9 ya? Aku mau
bekarang, nyuluh10, sebelum aku berangkat” pintanya.
“Ada
aja keinginan kau ya!” jawabku.
Panas
sore itu tidak kami hiraukan, aku menemaninya ditengah laut sama seperti saat
kemarin. Laut mendengar segala cita-citanya, mendengar kesahnya.
***
Kugenggam
erat-erat surat yang ditujukan kepadaku itu, aku memang belum membacanya. Tapi
aku tahu bagaimana isi surat itu. Pedih rasa hati ini. Aku hanya bisa berkata
dalam hati.
“Kau
mengingkari janji kita. Dimana janji itu? Aku rasa laut pun benci dengan
sifatmu. Kau pengecut. Kau lupa janji kau pada laut kalau kau akan pulang, kau
akan datang dengan mengayuh sendiri ciyau kolek. Kau yang akan membawaku
ketengah laut” Aku bergumam sendiri didalam hati.
“Sudahlah
Long, sebaiknya Along11 baca suratnya dulu. Jangan Along ratap
seperti itu” Ibuku berkata sambil mengelus pundakku.
Aku
berpaling kearah ibuku, kupeluk dengan erat. Aku ingin damai dalam pelukan
ibuku.
“Kau
beneran jadi berangkat Ram? Tanyaku sambil membenarkan letak umpanku yang dari
tadi tidak disentuh ikan.
“Jadi,
encek memaksaku pergi. Selain karna paksaan, aku juga memang sudah berniat
untuk kesana. Aku ingin melanjutkan pekerjaan encekku menjadi tekong12.
Negara itu punya banyak lapangan pekerjaan kata encekku, tidak seperti
disini” jawabnya.
“Disinikan
masih banyak pekerjaan Ram, kita disini saja. Sama-sama kerjanya, dan kalau ada
rezeki lebih kita bisa kuliah” aku membujuknya.
“Banyak
pekerjaan kata kau? Yang sarjana aja banyak yang nganggur Shah! Apa lagi kita
yang baru lulus SMA ini? Mau kerja apa dinegeri ini? Iqram mempertahankan
keinginannya.
“Pekerjaan selalu ada, asal kita tidak memilih
pekerjaan. Terkadang banyak orang yang terlalu memilih pekerjaan dan gengsi
sama pekerjaan-pekerjaannya. Aku khawatir sama kau, kau itu masuk secara illegal ke Negara orang ” kataku
menambahkan.
“Udahlah,
jangan khawatir. Encek aku udah puluhan tahun jadi tekong, aman-aman saja aku
lihat” katanya sambil melepaskan ikan dari kail. Itulah adalah ikan pertama
kami sore itu.
Aku
berkata lagi “ tapikan..” tiba-tiba ia menatap aku. Aku terdiam dan tak jadi
berbicara.
“Udah,
santai saja. Aku pasti baik-baik saja” katanya sambil berdiri membuat kolek
menjadi oleng.
Ia
menghadap kearahku sambil mengangkat tangan kanan seperti ingin bersumpah.
“Pada Laut yang tenang ini aku berjanji, aku akan kembali kesini. Aku akan
datang lagi bersama sahabatku Shah Bilal. Aku akan membawanya ketengah laut
ini. Aku yang akan mengayuhkan ciyau ini. Akan kubuat dia seperti raja” katanya
tersenyum.
“Along”
kata ibuku membuyarkan ingatanku.
Aku
meneteskan air mata, pelan-pelan kubuka surat itu.
Sahabatku, Shah Bilal.
Shah,
surat ini kutulis sebagai penggantiku.
“Demi
batu di negeri sendiri aku berusaha mengumpulkan pundi-pundi emas. Bukan emas
dinegeri orang yang membuat aku menjadi batu. Batu yang tak dihargai. Batu itu
diam, mau ditendang ataupun dicaci maki terserah orang” Itu kata-kata kau Shah.
Aku
jadi batu dinegeri orang. Dicaci maki, ditendang dan aku diam. Aku baru
mengerti kata-kata itu Shah.
Aku
pengecut Shah, akhirnya aku tak mampu mengayuh ciyau untukmu, untuk
menjadikanmu raja. Karna sampai saat ini aku tak bisa mengayuh ciyau.
Shah,
kalau kau kelaut, ceritakan tentang mak yong13 yang baru kau tonton
lagi. Karna aku ingin mendengarnya.
Sahabatmu
Iqram Putra
Satu-persatu
titik air mata jatuh keatas kertas lusuh itu, surat itu telah kubaca berulang
kali. Bahkan sampai hari ini, lima tahun setelah kepergiannya. Persahabatan ini
terasa kekal, karna laut tak pernah berubah. Aku selalu menceritakan kisah Mak
Yong yang baru kutonton kepada laut.
Kukayuh
kolek menyusuri laut menuju kerumahku sore itu. Baju kurungku yang berwarna
putih menjadi bercak-bercak hitam karena minyak yang dioleskan pada kolekku.
Diujung sana matahari telah rendah hampir masuk ke permukaan air laut. Aku
terus mengayuh untuk pulang.
Glosarium
1. Kolek : Sejenis sampan dengan dayung
2. Encek : Aya,
bapak
3. Bantot : kurang tinggi, bantot
4. Ngail
: mancing
5. Pelantar
: semacam dermaga yang terbuat dari kayu
6. Ciyau
: Alat untuk mendayung, dayung
7. Nyondong
: cara menangkap udang dengan jarring dengan diikat kayu berbentuk huruf X
8. Bekarang
: cara mencari hewan makanan laut pada saat air laut surut dengan jalan kaki
9. Gonggong
: nama hewan laut berkaki satu sejenis keong
10. Nyuluh
: cara menangkap udang dengan tombak
11. Along
: panggilan kepada anak yang paling tua,
anak sulung
12. Tekong
: pembawa kapal atau boat
13. Mak
Yong : hiburan rakyat, masyarakat Bintan kepualauan Riau dengan drama, tari, serta
musik