Kamis, 05 November 2015

Cerpen: DEMI BATU NEGERI SENDIRI


DEMI BATU NEGERI SENDIRI
Oleh : Riawani
Palu sidang telah diketukkan tanda sidang berakhir, putusan telah dijatuhkan kepadanya. Perasaannya tak kuasa ditahannya, bibir dikatup rapat dan tangan dikepalnya dengan kuat. Rasa menyesal atas keputusan yang ia buat saat itu, kini hanya menunggu hari yang telah diputuskan hakim.
“Maaf Iqram, pihak kedutaan tak bisa membantu banyak” kata seorang staf Kedutaan Besar Indonesia kepadanya saat sidang  telah selesai.
“Apa ada yang bisa kami bantu lagi? tanyanya lagi.
Iqram tak menjawab, ia hanya diam. Tangannya terus dikepalnya, sesekali ia menutup muka dengan menggunakan tangannya, lelehan air yang mengalir dari sudut-sudut matanya tak mampu ia sembunyikan dari orang-orang yang melihatnya. Tak ada rasa malu lagi, sehingga seketika pecah isak tangisnya. Didalam tangisnya, pikiran telah melayang menelusuri suasana panas gedung pengadilan, mengikut arah angin, terbang jauh. Membayangkan gedung-gedung Malaysia yang megah, tempat mengais rezeki sebagian orang-orang Indonesia. Kemudian teringat akan malam-malam diatas kapal, datang dengan diam-diam ke negeri orang. Ombak laut perbatasan menjadi saksi perjalanannya meninggalkan kampung halaman.
“Pak, saya punya sebuah permintaan” tiba-tiba ia bersuara.
“Baiklah, apa? Saya akan coba mengabulkan permintaan kamu” jawab staf kedutaan tersebut yang telah lama menunggu dengan sabar.
“Saya punya permintaan untuk yang terakhir kali sama bapak, tolong bapak lakukan ya” katanya memohon.
***

Hari-hari telah berlalu dengan dengan cepatnya, tak terasa sudah hampir sebulan aku berpisah dengan sahabatku. Aku seperti rindu padanya, padahal sebulan yang lalu ia datang menemuiku, menceritakan cita-citanya kepadaku.
“Disini rupanya kau” katanya mengagetkanku.
“Ahk kau, terkejut aku” kataku sambil menolehkan muka ke arahnya.
“Bisa juga kau terkejut ya” ejeknya sambil berjalan kearahku.
“Eh…eh…eh… Pelan-pelan, nanti koleknya1 oleng” aku berusaha menyeimbangkan keadaan.
“Kau.. seperti ini aja sudah takut” kembali ia mengejekku.
“Bukan takut, kalau jatuhkan tak lucuuu” kataku dengan becanda.
“Lucuuu” katanya lagi dengan nada yang lebih panjang.
Kami tertawa, kemudian terdiam sejenak. Hanyut dengan pikiran masing-masing. Diam-diam aku meliriknya, melihatnya seperti ada yang ia pikirkan. Pandangannya jauh ketengah laut, tangannya mempermainkan air dengan lembut. Sementara ombak-ombak yang datang secara perlahan membuat kolek bergoyang-goyang. Angin laut menambah kebisuan kami pada pertemuan sore itu.
“Aku pasti merindukan saat seperti ini, aku pasti merindukan tempat ini” katanyanya memecah suasana.
“Hemp… siapa yang tak akan rindu dengan tempat ini? Disinilah kita, tempat kita bermain, tempat kita makan, belajar, bahkan tempat yang sama saat kita dimarah encek2  kau atau pun bapak aku” aku menambahkan.
“Terkadang ada rasa tak ingin aku pergi, aku ingin tetap disini. Tapi encek memintaku untuk pergi. Terkadang aku berpikir mengapa kita harus dewasa? Aku ingin kita tetap menjadi anak-anak? Keluhnya hampir mengeluakan air mata.
“Sudahlah. Sudah takdir kita dewasa, terima saja. Kau mau jadi terus jadi anak-anak? Aku tak mau, anak-anak itu kecil, segini, bantot3” aku mulai bercanda untuk mencairkan suasana.
“Haha… Kau yang bantot, jelas-jelas aku lebih tinggi dari kau” kembali ia mengejekku.
“Dasar mulut tak ada insurance, seenaknya saja bilang aku bantot” aku mulai kesal.
Dia tertawa “Haha… ngail4 yuk. Air tenang biasanya ada ikan” sambil ia melompat keluar kolek membuat aku harus memegang tiang pelantar5 kayu agar tidak oleng.
Ia berlari, menuju rumahku untuk mencari alat untuk mengail. Aku berteriak memintanya jangan lupa untuk mengambilkan umpannya sekalian. Aku menunggunya, sambil mempersiapkan kolek, mengambil ciyau6 yang diletakkan bapakku dibawah pelantar.
“Oke. Berangkat kita. Ini kau punya” katanya dengan napas tersengal-sengal karna berlari lalu memberikan alat mengail kepadaku.
“Ehh, lihat umpannya masih bagus!” katanya lagi.
“Ya iyalah, itu udang bapak aku nyondong7 tadi” kataku sambil mulai menjalankan kolek.
“Ha? Jangan-jangan udang ini untuk bapak kau jual? Katanya dengan ragu-ragu.
“Tak. Itu udang sengaja disimpan untuk ngail” aku meyakinkan.
“Oh. Okelah. Besok kita bekarang8 gonggong9 ya? Aku mau bekarang, nyuluh10, sebelum aku berangkat” pintanya.
“Ada aja keinginan kau ya!” jawabku.
Panas sore itu tidak kami hiraukan, aku menemaninya ditengah laut sama seperti saat kemarin. Laut mendengar segala cita-citanya, mendengar kesahnya.
***

Kugenggam erat-erat surat yang ditujukan kepadaku itu, aku memang belum membacanya. Tapi aku tahu bagaimana isi surat itu. Pedih rasa hati ini. Aku hanya bisa berkata dalam hati.
“Kau mengingkari janji kita. Dimana janji itu? Aku rasa laut pun benci dengan sifatmu. Kau pengecut. Kau lupa janji kau pada laut kalau kau akan pulang, kau akan datang dengan mengayuh sendiri ciyau kolek. Kau yang akan membawaku ketengah laut” Aku bergumam sendiri didalam hati.
“Sudahlah Long, sebaiknya Along11 baca suratnya dulu. Jangan Along ratap seperti itu” Ibuku berkata sambil mengelus pundakku.
Aku berpaling kearah ibuku, kupeluk dengan erat. Aku ingin damai dalam pelukan ibuku.
“Kau beneran jadi berangkat Ram? Tanyaku sambil membenarkan letak umpanku yang dari tadi tidak disentuh ikan.
“Jadi, encek memaksaku pergi. Selain karna paksaan, aku juga memang sudah berniat untuk kesana. Aku ingin melanjutkan pekerjaan encekku menjadi tekong12. Negara itu punya banyak lapangan pekerjaan kata encekku, tidak seperti disini”  jawabnya.
“Disinikan masih banyak pekerjaan Ram, kita disini saja. Sama-sama kerjanya, dan kalau ada rezeki lebih kita bisa kuliah” aku membujuknya.
“Banyak pekerjaan kata kau? Yang sarjana aja banyak yang nganggur Shah! Apa lagi kita yang baru lulus SMA ini? Mau kerja apa dinegeri ini? Iqram mempertahankan keinginannya.
 “Pekerjaan selalu ada, asal kita tidak memilih pekerjaan. Terkadang banyak orang yang terlalu memilih pekerjaan dan gengsi sama pekerjaan-pekerjaannya. Aku khawatir sama kau, kau itu masuk secara illegal ke Negara orang ” kataku menambahkan.
“Udahlah, jangan khawatir. Encek aku udah puluhan tahun jadi tekong, aman-aman saja aku lihat” katanya sambil melepaskan ikan dari kail. Itulah adalah ikan pertama kami sore itu.
Aku berkata lagi “ tapikan..” tiba-tiba ia menatap aku. Aku terdiam dan tak jadi berbicara.
“Udah, santai saja. Aku pasti baik-baik saja” katanya sambil berdiri membuat kolek menjadi oleng.
Ia menghadap kearahku sambil mengangkat tangan kanan seperti ingin bersumpah. “Pada Laut yang tenang ini aku berjanji, aku akan kembali kesini. Aku akan datang lagi bersama sahabatku Shah Bilal. Aku akan membawanya ketengah laut ini. Aku yang akan mengayuhkan ciyau ini. Akan kubuat dia seperti raja” katanya tersenyum.
“Along” kata ibuku membuyarkan ingatanku.
Aku meneteskan air mata, pelan-pelan kubuka surat itu.
Sahabatku, Shah Bilal.
Shah, surat ini kutulis sebagai penggantiku.
“Demi batu di negeri sendiri aku berusaha mengumpulkan pundi-pundi emas. Bukan emas dinegeri orang yang membuat aku menjadi batu. Batu yang tak dihargai. Batu itu diam, mau ditendang ataupun dicaci maki terserah orang” Itu kata-kata kau Shah.
Aku jadi batu dinegeri orang. Dicaci maki, ditendang dan aku diam. Aku baru mengerti kata-kata itu Shah.
Aku pengecut Shah, akhirnya aku tak mampu mengayuh ciyau untukmu, untuk menjadikanmu raja. Karna sampai saat ini aku tak bisa mengayuh ciyau.
Shah, kalau kau kelaut, ceritakan tentang mak yong13 yang baru kau tonton lagi. Karna aku ingin mendengarnya.
Sahabatmu
Iqram Putra

Satu-persatu titik air mata jatuh keatas kertas lusuh itu, surat itu telah kubaca berulang kali. Bahkan sampai hari ini, lima tahun setelah kepergiannya. Persahabatan ini terasa kekal, karna laut tak pernah berubah. Aku selalu menceritakan kisah Mak Yong yang baru kutonton kepada laut.
Kukayuh kolek menyusuri laut menuju kerumahku sore itu. Baju kurungku yang berwarna putih menjadi bercak-bercak hitam karena minyak yang dioleskan pada kolekku. Diujung sana matahari telah rendah hampir masuk ke permukaan air laut. Aku terus mengayuh untuk pulang.



Glosarium
1.      Kolek  : Sejenis sampan dengan dayung
2.      Encek  : Aya,  bapak
3.      Bantot : kurang tinggi, bantot
4.      Ngail   : mancing
5.      Pelantar : semacam dermaga yang terbuat dari kayu
6.      Ciyau   : Alat untuk mendayung, dayung
7.      Nyondong : cara menangkap udang dengan jarring dengan diikat  kayu berbentuk huruf X
8.      Bekarang : cara mencari hewan makanan laut pada saat air laut surut dengan jalan kaki
9.      Gonggong : nama hewan laut berkaki satu sejenis keong
10.  Nyuluh : cara menangkap udang dengan tombak
11.  Along : panggilan kepada anak yang paling tua, anak sulung
12.  Tekong : pembawa kapal atau boat

13.  Mak Yong : hiburan rakyat, masyarakat Bintan kepualauan Riau dengan drama, tari, serta musik

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About